BARU saja Mas Pe’i menyetandar motor sepulang bekerja demi mencari sekintal beras plus lauk-pauknya, sekoper duit bergambar Soekarno-Hata dan sebongkah emas 24 karat yang tidak karatan. Terlihat japet bocah berumur tanggung tetangga rumahnya berlari sipat kuping.
“Woi, pet mau ke mana?” panggilan itu membuat japet menghentikan larinya.
“Balai Desa mas, ada rame-rame demo, ayo mas bareng ke sana,” ajakan sekaligus jawaban diberikan pada Mas Pe’i.
“Rame loh mas, ada lempar-lemparan batu, kabarnya pintu balai desa juga sudah bobol,” japet menambahkan.
“Males lah pet, capek aku baru pulang kerja.”
“Alah mas ini ndak peduli dengan demokrasi di desa kita,” sanggahan sewot terdengar dari mulut bocah itu, Mas Pe’i hanya nyengir dan berkata
“Berisik lah Pet, apa kamu nggak takut kena lemparan batu nyasar, belum nanti misalnya kamu kedorong, jatuh, keinjek-injek badanmu yang kecil itu bisa gepeng loh.”
“Demi perjuangan menegakkan keadilan mas,”Jepet menjawab sambil mengepalkan tangan tanda semangat.
“Gayamu pet, mending duduk sini nemenin saya nanti tak buatin teh manis sambil tak ceritani.”
Agak bingung tapi akhirnya Jepet berkata, “Oke lah mas tapi bukan berarti saya tidak peduli dengan demokrasi di kampung kita loh mas.”
“iya,iya, wis duduk situ sebentar tak bikin tehnya.”
Beberapa saat Mas Pe’i keluar membawa teh manis dan cemilan karo ngucap
“Moci Pet, Mocimu apa pet?”
“Anget, ngakrabna,” keduanya serentak berkata kemudian tertawa bareng.
“Ya mas, tadi jare pan cerita,” Japet menagih.
“Oke Pet, ceritanya di suatu daerah ada satu banteng namanya Maraenis. Banteng ini dulu pernah berpura-pura menjadi kerbau penurut sambil terus melatih dan mengumpulkan kekuatan sampai kira-kira tiga puluh tahunan,” tutur Mas Pe’i.
“Lama ya mas, sabar banget itu banteng, terus?” ujar japet.
“Setelah waktu itu berlalu, banteng itu dengan kekuatan dan pengaruhnya kemudian merobohkan istan raja macan. Keluarga macan hampir semuanya dibabat habis dan sejak saat itu banteng maraenis sangat disegani dan ditakuti.”
“Lalu suatu hari datang lah ular yang terlihat konyol namun banteng menggandengnya, melindungi dan memberikan posisi menjadi bayangan kekuasaan banteng. Saat ular itu memerintah hampir tidak ada yang berkutik karena perlindungan dan pengaruh banteng.”
“Beruntung sekali itu ular, lanjut mas,” ujar Japet.
“Namun ternyata ular ini juga ingin berkuasa sepenuhnya tidak hanya menjadi penguasa bayangan untuk itu dia mengumpulkan tikus-tikus dan menggandeng ular-lainnya lainya untuk menjadi pengikutnya. Sampai di suatu hari dia menggigit banteng itu dan menyuntikkan racun yang dimiliki, ular lain dan tikus bekerjasama menyerang kaki banteng dan berhasil menjatuhkannya. Banteng yang sudah lama berdiri tegak ini jatuh ke tanah dan dipermalukan oleh ular itu,” jelas Mas Pe’i.
“Banteng terlalu percaya diri tidak ada yang bisa mengalahkan dia ya mas, mungkin, hehehe,” japet menganalisa.
“Bisa jadi,” jawab Mas Pe’i. “Tapi Pet ular juga mungkin terlalu percaya diri setelah berhasil menjatuhkan banteng atau mungkin dia lupa kenyamanan dan keamanan yang selama ini dinikmati juga ada peran banteng di dalamnya. Ular berdiri angkuh mengangkangi kekuasaan, berusaha terus berkuasa dengan menciptakan dinasti.”
“Terus kenapa mas kan banteng sudah kalah?” tanya Japet.
“Memang Pet tapi Banteng yang sudah pernah bertahan menderita selama tiga puluh tahun dengan sisa kekuatan dan pengaruhnya kemudian bergerilya untuk menjatuhkan istana ular dan merobohkan tempat peristirahatan para tikus dibantu kumpulan bebek dan ayam dan lainnya, walaupun gerombolan tikus itu dengan kelicikannya berusaha berkelit dan menyembunyikan diri.”
“Lalu apa kabar dengan si ular ketika banteng mulai membalas mas?” tanya Japet.
“Ular dan keluarganya bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri baik itu di hadapan kumpulan bebek, ayam, kambing dan lainnya apalagi dihadapan banteng tapi yang jelas banteng terus memburu ular itu dan hari-hari si ular mungkin akan tidak lagi tenang,” tutup Mas Pe’i.
Mikir sebentar kemudian Japet bertanya “Eeehm tapi sebenarnya pelajaran apa yang ada dicerita ini?”
Setelah menyeripit minuman di gelasnya Mas Pe’i menjawab “Ya ini kan cerita pet, saya kan janjinya cuma cerita bukan menceritakan kisah hikmah, kalau ada pelajaran yang terkandung ya syukur kalau nggak ada ya ben bae toh, hahahaha…”
“Asem!!!” jepet menggerutu tapi dengan tertawa.
Lalu mereka pun melnjutkan moci sambil ngobrol ngalor-ngidul. (*)