Opini

Islam dan Pancasila: Histori, Relasi dan Sinergi

×

Islam dan Pancasila: Histori, Relasi dan Sinergi

Sebarkan artikel ini
Islam dan Pancasila: Histori, Relasi dan Sinergi

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy S.Ag, M.Pd
Ka. SMP AT TIN UMP, Penulis Buku Merawat Nalar Salim

Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama dalam Pancasila, selalu menjadi subjek perdebatan dari berbagai kalangan. Bagi sebagian pihak, upaya untuk memisahkan makna asli dari sila ini tak pernah berhenti, dengan berbagai pandangan yang mencoba memosisikan Pancasila sebagai ideologi yang netral agama. Namun, pandangan ini justru mengundang kritik dari tokoh agama dan intelektual, terutama mereka yang memahami hubungan erat antara Pancasila dan ajaran Islam. Melalui tulisan ini, penulis hendak mengulas kembali makna sila pertama berdasarkan fakta sejarah dan argumen teologis dari berbagai sumber terpercaya, termasuk pandangan Ustadz Adian Husaini.

Workshop Jurnalistik

Dalam bukunya, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Islam, Ustadz Adian Husaini memberikan penjelasan mendalam tentang kedudukan sila pertama dalam Pancasila dan hubungannya dengan Islam. Menurutnya, di tahun 1983, Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Situbondo menghasilkan sebuah deklarasi penting tentang hubungan Islam dan Pancasila. Dalam deklarasi tersebut, ditegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara bukanlah agama dan tidak bisa menggantikan agama. Namun, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila, menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, mencerminkan ajaran tauhid dalam Islam.

Baca Juga  Tuhan Memuliakan Pegiat Ekonomi

Deklarasi ini juga menyebutkan bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila oleh umat Islam merupakan wujud pelaksanaan syariat Islam. Oleh karena itu, NU menegaskan komitmennya untuk menjaga pengertian yang benar dan pengamalan yang murni dari Pancasila sesuai dengan konsensus ulama.
Pemahaman ini kemudian dipertegas oleh Rais ‘Aam NU saat itu, K.H. Ahmad Shiddiq, yang menjelaskan bahwa makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” merujuk pada tauhid atau monoteisme yang erat kaitannya dengan aqidah Islamiyah. Beliau mengaitkan sila pertama dengan surat Al-Ikhlas, yang menegaskan keesaan Allah. Pandangan ini menunjukkan bahwa sila pertama dalam Pancasila sejatinya memiliki hubungan yang kuat dengan ajaran tauhid dalam Islam.

Dalam konteks ini, Prof. Hamka, ketika menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1976, juga mengkritisi pandangan-pandangan yang mencoba memisahkan Tuhan dalam Pancasila dari ajaran agama. Menurutnya, penafsiran bahwa Tuhan dalam Pancasila adalah entitas yang terpisah dari agama merupakan upaya untuk mengaburkan makna asli sila tersebut. Beliau menegaskan bahwa dalam pembukaan UUD 1945 sudah jelas tertulis “atas berkat rahmat Allah”, yang menunjukkan bahwa Tuhan dalam Pancasila adalah Allah yang satu.

Baca Juga  Distorsi Makna Karnaval dan Lomba 17an Layak Ditonton Anak

Dengan pemahaman ini, para ulama menekankan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sebaliknya, ada sinergitas antara keduanya, di mana ajaran tauhid dalam Islam menjadi bagian esensial dari pembentukan dasar negara Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk mengaburkan makna asli sila pertama sebagai refleksi dari ajaran tauhid perlu diwaspadai.

Ruh Tauhid dalam Pembentukan UUD 1945

Pernyataan “Pancasila netral agama” memang telah menimbulkan kontroversi, khususnya di kalangan agamis di Indonesia. Pandangan ini bisa dianggap sebagai bentuk penyederhanaan yang mengabaikan sejarah dan konteks teologis dari pembentukan negara Indonesia. Untuk memahami hal ini lebih dalam, mari kita lihat kembali sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Dalam bukunya, Api Sejarah II, Prof. Mansyur Suryanegara menjelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H, dan terjadi pada hari Jumat, yang dikenal sebagai hari penuh berkah dalam Islam. Dalam pembukaan UUD 1945, jelas tertulis “atas berkat rahmat Allah”, yang menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia memiliki dimensi spiritual yang kuat, khususnya dalam konteks Islam. Namun, sayangnya, aspek spiritual ini sering kali sedikit dikesampingkan dalam narasi sejarah resmi.

Baca Juga  Mitsaq: Jejak Perjanjian Agung di Relung Jiwa Manusia

Lebih lanjut, Prof. Mansyur mengungkapkan bahwa pada 18 Agustus 1945, para ulama seperti K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Bagus Hadikusumo berhasil merumuskan makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UUD 1945 sebagai cerminan dari ajaran tauhid dalam Islam. Ini menegaskan bahwa fondasi negara Indonesia dibangun di atas prinsip-prinsip ketuhanan yang berkaitan erat dengan ajaran Islam.

Dari berbagai pemaparan di atas, penulis melihat bahwa Indonesia bukanlah negara yang netral agama, melainkan negara yang mengakui dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, terutama dalam konteks ajaran tauhid. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami makna asli sila pertama dalam Pancasila dan menjaga agar tidak terjadi penyimpangan atau manipulasi dalam penafsirannya. Sinergitas antara ajaran Islam dan Pancasila bukanlah suatu hal yang kontradiktif, melainkan sesuatu yang telah menjadi bagian integral dari sejarah dan teologi bangsa ini.

Wallahu A’lam Bishawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Workshop Jurnalistik