Mocimu.id – Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd/ Mudir Pengasuh Pesantren At-tin UMP Kab. Tegal. Sejenak kita hentikan langkah, menarik napas dalam, dan membiarkan pikiran terbang jauh ke satu masa, ke momen agung yang mungkin tak pernah kita ingat secara sadar, namun bersemayam begitu dalam di relung jiwa. Ada satu percakapan yang, sejak awal mula, mengikat setiap jiwa manusia dengan Sang Pencipta. Percakapan ini bukan sekadar dialog biasa, melainkan awal dari segala kesadaran yang kita miliki—sebuah percakapan agung yang terjadi antara Allah dan seluruh jiwa manusia.
Pada saat itu, Allah bertanya dengan suara yang penuh kekuasaan, namun penuh kasih, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” (Alastu Bi Rabbikum?). Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang menembus inti dari setiap jiwa, bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan juga sebuah panggilan yang membangkitkan kesadaran mendalam dalam diri kita. Dan dengan jiwa yang bersih, kita semua, tanpa kecuali, menjawab serentak, “Ya, kami bersaksi.” Di sinilah awal mula keberadaan kita sebagai manusia, dan di sinilah ikatan itu dimulai—ikatan yang tak terlihat namun nyata, ikatan yang disebut sebagai Mitsaqon Gholizho—Perjanjian Agung.
Perjanjian ini tak hanya sebuah dialog yang hilang ditelan waktu. Ia menjadi dasar fitrah kita, sebuah jati diri yang tertanam dalam sejak kelahiran. Fitrah yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai bawaan suci setiap bayi yang lahir ke dunia. “Kullu mauludin yuladu ‘ala al-fitrah”—setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah, keadaan suci, dengan pengakuan yang telah terpatri dalam jiwanya bahwa Allah adalah Tuhan yang menghidupkan dan memelihara.
Fitrah manusia, oleh karenanya, bukan sekadar status bawaan sejak lahir. Lebih dari itu, ia adalah kesadaran mendalam akan kehadiran Allah sebagai Rabb, Sang Pencipta yang Maha Kuasa. Tiada fitrah yang sejati tanpa pengakuan ini, karena di situlah sumber keberadaan kita. Dengan kata lain, perjanjian awal yang kita buat dengan Allah adalah pengakuan akan keilahian-Nya, dan dari pengakuan inilah fitrah manusia terwujud. Maka, pada hakikatnya, fitrah manusia bukan sekadar kesucian lahiriah, tetapi kesadaran spiritual yang mengikat manusia dengan Tuhannya.
Namun, apa makna dari perjanjian ini? Perjanjian ini lebih dari sekadar formalitas, lebih dari sekadar sebuah kesepakatan. Ia adalah hutang eksistensi kita sebagai manusia. Dalam pengakuan kita bahwa Allah adalah Rabb, terkandung komitmen untuk menjalani hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Mitsaq ini menegaskan bahwa keberadaan kita bukan sekadar wujud fisik di dunia ini, melainkan sebuah perjalanan yang lebih dalam, sebuah perjalanan spiritual yang berlandaskan pada janji yang kita buat sejak zaman azali.
Pada momen ketika jiwa manusia masih berada di alam spiritual, sebelum dibungkus dalam jasad duniawi, perjanjian ini terjadi. Saat itu, kita belum mengenal dunia dengan segala distraksinya, kita masih murni, masih utuh dalam kesadaran penuh akan kehadiran Sang Pencipta. Namun, ketika kita lahir ke dunia, kehidupan material mulai menyelimuti kita. Dunia, dengan segala kemegahannya, sering kali membuat kita lupa akan asal-muasal kita, lupa akan perjanjian yang pernah kita buat.