Mocimu.id – Sebuah ajaran yang menuntun kehidupan umat Muslim dalam menjalani aktivitas sehari-hari adalah prinsip itqân al-‘amal, yang berarti melakukan pekerjaan atau amal dengan sebaik-baiknya. Prinsip ini tidak hanya menjadi panduan dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah, tetapi juga dalam segala aspek kehidupan, baik itu pekerjaan profesional, kegiatan organisasi, maupun hubungan sosial. Seorang Muslim sejati tidak hanya dituntut untuk memiliki niat yang ikhlas, tetapi juga memastikan bahwa setiap amal yang dilakukannya dilakukan dengan kualitas terbaik.
Namun, kenyataannya, kita sering melihat kontradiksi antara niat dan pelaksanaan amal. Niat yang baik, misalnya, sering kali tidak diikuti oleh kualitas kerja yang sepadan. Sebagai contoh, dalam berbagai organisasi massa Islam, seseorang yang diamanahkan sebagai pengurus sering kali bersikap pasif atau sekadar menyisihkan waktu luangnya. Mengapa hal ini terjadi? Apakah benar bahwa amal yang baik hanya ditentukan oleh honor atau imbalan materi?
Pentingnya Niat yang Ikhlas dalam Beramal
Niat adalah fondasi utama dari segala perbuatan. Dalam Islam, segala tindakan, baik yang bersifat ibadah maupun non-ibadah, dimulai dengan niat. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya” (HR Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa niat memegang peranan sentral dalam menentukan nilai amal seseorang.
Namun, niat yang ikhlas tidak cukup jika tidak diikuti dengan pelaksanaan amal yang baik. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk hanya berhenti pada niat, melainkan mendorong untuk mewujudkan niat itu dalam amal yang nyata. Itqân al-‘amal adalah wujud nyata dari niat yang ikhlas. Seseorang yang benar-benar ikhlas dalam beramal akan berusaha melakukan amal tersebut dengan penuh kesungguhan, dedikasi, dan profesionalisme.
Itqân al-‘amal: Amal Berkualitas, Bukan Sekadar Formalitas
Di sinilah itqân al-‘amal atau bekerja dengan sebaik-baiknya memainkan peran kunci. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang ketika melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan sempurna” (HR Thabrani). Hadis ini memberikan arahan yang jelas bahwa kesungguhan dalam bekerja adalah sesuatu yang dicintai Allah. Oleh karena itu, seorang Muslim harus selalu menjaga kualitas amalnya, baik itu dalam pekerjaan yang berhubungan dengan duniawi maupun ukhrawi.
Sayangnya, fenomena yang sering terjadi di masyarakat kita adalah kecenderungan untuk bekerja dengan standar ganda. Ketika seseorang mendapatkan honor atau imbalan materi, ia bekerja dengan lebih giat dan disiplin. Sebaliknya, ketika tidak ada imbalan atau honor, pekerjaan cenderung dilakukan asal-asalan. Hal ini sering terlihat dalam organisasi-organisasi massa, termasuk organisasi Islam, di mana banyak pengurus yang tidak aktif hanya karena tidak mendapatkan gaji.
Apakah benar kualitas amal harus ditentukan oleh imbalan materi? Dalam perspektif Islam, pandangan ini sangat keliru. Kualitas amal atau pekerjaan tidak seharusnya berkaitan dengan imbalan materi. Seorang Muslim yang ikhlas akan tetap bekerja dengan penuh dedikasi meskipun tidak ada imbalan materi. Bagi seorang Muslim, imbalan yang paling berharga bukanlah honor di dunia, melainkan ganjaran di akhirat.
Kontradiksi Antara Profesionalisme dan Ketaatan
Salah satu permasalahan yang sering muncul adalah pemahaman yang sempit tentang profesionalisme. Banyak yang beranggapan bahwa profesionalisme hanya diperlukan dalam konteks pekerjaan yang digaji atau mendapatkan honor. Padahal, konsep profesionalisme dalam Islam jauh lebih luas. Profesionalisme mencakup etos kerja yang tinggi, kejujuran, tanggung jawab, dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan baik, terlepas dari ada atau tidaknya imbalan materi.
Di sinilah letak perbedaan antara profesionalisme dalam pandangan sekuler dan dalam Islam. Dalam pandangan sekuler, profesionalisme cenderung berkaitan dengan imbalan finansial. Seseorang dianggap profesional jika ia menerima bayaran untuk pekerjaannya dan mampu menjalankannya dengan baik. Namun, dalam Islam, profesionalisme adalah bagian dari ibadah. Seorang Muslim dituntut untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh disiplin sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, bukan semata-mata karena honor atau bayaran.
Hal ini relevan ketika kita melihat fenomena yang terjadi di berbagai organisasi massa Islam, di mana banyak pengurus yang tidak aktif karena tidak mendapatkan honor. Mereka merasa tidak ada kewajiban untuk bekerja dengan sungguh-sungguh karena pekerjaan tersebut tidak memberi imbalan materi. Padahal, amanah yang diberikan kepada mereka seharusnya dijalankan dengan penuh tanggung jawab sebagai bagian dari ibadah kepada Allah.
Menghubungkan Kembali Niat dengan Kualitas Amal
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menghubungkan kembali niat yang ikhlas dengan kualitas amal. Seorang Muslim harus menyadari bahwa setiap pekerjaan yang dilakukannya, baik itu di dunia kerja profesional maupun dalam organisasi sosial, adalah bagian dari ibadah. Oleh karena itu, ia harus melakukannya dengan sebaik-baiknya.
Untuk mewujudkan itqân al-‘amal, diperlukan perubahan paradigma tentang cara pandang terhadap pekerjaan. Pertama, pekerjaan harus dipandang sebagai amanah, bukan sekadar sarana untuk mendapatkan imbalan materi. Setiap amanah yang diberikan harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan. Kedua, kualitas amal tidak boleh ditentukan oleh ada atau tidaknya honor. Seorang Muslim harus tetap menjaga kualitas amalnya, baik itu dalam pekerjaan yang digaji maupun yang tidak.
Rasulullah SAW telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Beliau selalu menjaga kualitas amalnya, baik dalam urusan ibadah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Beliau bekerja dengan penuh dedikasi, tanggung jawab, dan keikhlasan, tanpa memandang ada atau tidaknya imbalan materi. Inilah yang seharusnya menjadi teladan bagi setiap Muslim.
Menumbuhkan Etos Kerja dalam Kehidupan Organisasi
Untuk menciptakan budaya itqân al-‘amal dalam kehidupan organisasi, diperlukan upaya bersama dari semua pihak. Pertama, setiap anggota organisasi harus menyadari bahwa tanggung jawab yang diberikan kepada mereka adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh kesungguhan. Kedua, organisasi harus menciptakan budaya yang menghargai kualitas amal, bukan sekadar formalitas atau kepentingan pribadi.
Dalam hal ini, organisasi massa Islam dapat belajar dari konsep ihsan, yaitu melakukan segala sesuatu dengan cara yang terbaik. Ihsan bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam bekerja, berorganisasi, dan berinteraksi dengan sesama. Dengan menanamkan nilai-nilai ihsan dalam kehidupan organisasi, kita dapat menciptakan budaya kerja yang lebih baik, di mana setiap anggota organisasi berusaha melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya, terlepas dari ada atau tidaknya honor.
Mewujudkan Itqân al-‘amal dalam Kehidupan Sehari-hari
Prinsip itqân al-‘amal adalah ajaran Islam yang sangat relevan dalam kehidupan modern. Di tengah-tengah tuntutan dunia kerja yang semakin kompetitif, prinsip ini mengajarkan kita untuk selalu menjaga kualitas amal dan bekerja dengan penuh kesungguhan. Niat yang ikhlas harus diikuti dengan amal yang berkualitas, bukan asal jadi atau sembarangan.
Seorang Muslim yang benar-benar ikhlas dalam beramal akan tetap bekerja dengan penuh dedikasi, terlepas dari ada atau tidaknya imbalan materi. Sebab, bagi seorang Muslim, ganjaran yang paling berharga bukanlah honor duniawi, melainkan keridhaan Allah dan pahala di akhirat. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi utama dalam setiap amal dan pekerjaan yang dilakukan.
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag., M.Pd
Sumber: Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, LPPI UMY.