Scroll untuk baca artikel
Banner Iklan
Kanda Alus

Mengulas Es Teh dan Fiqih Bercanda

×

Mengulas Es Teh dan Fiqih Bercanda

Sebarkan artikel ini

Mocimu.id – Selepas sholat isya berjamaah di masjid Mas Pe’i diajak mampir Joko temannya untuk mampir dirumahnya yang berada di dekat masjid.

Setelah obrolan ngalor-ngalor ngidul khas bapak-bapak kalau lagi ngumpul, Mas Pe’i nyeletuk “saya pengin jualan isz jok”

“memangnya mau jualan apa?” tanya joko

Es Teh” jawab Mas Pe’i singkat

Dengan tertawa temannya menimpali “hahahaha, kamu ngarang, kenapa es teh?

“loh ada kemungkinan penjualan es teh akan naik loh karena do’a seorang bapak penjualnya kemarin, saat dia menahan malu, sakit hati dan marah” jawab Mas Pe’i dengan muka serius tapi tidak meyakinkan.

“oh ceritanya ini ngomongin kejadian viral penjual es teh dan Miftah toh?” kata joko

“nggak juga” jawab Mas Pe’i singkat

“tapi memang sih miftah ini keterlaluan” analisa temannya itu

Baca Juga :  Nusron Wahid: Muhammadiyah Adalah Organisasi Islam Paling Rapi di Indonesia

Mas Pe’i menyeruput teh manis yang dihidangkan temannya kemudian berkata “sebenarnya saya ngerti maksud Miftah itu bercanda tapi dia bercanda di waktu dan tempat yang salah, penggunaan bahasanya juga salah, faktor-faktor ini yang menyebabkan candaannya menjadi sesuatu yang salah dan fatal”

“hemm gitu ya, jadi menurutmu bercanda juga ada cara dan aturannya?” tanya joko

“ya jelas lah itu, sesuatu yang melibatkan orang lain tentu mempunyai pertimbangan-pertimbangan di dalamnya, ini kan masuk ke dalam ranah muamalah kalau dalam pengertian agama” jawab Mas Pe’i

“setuju, berarti mungkin perlu juga dibuat fikih bercanda yah? kan banyak fikih kontemporer yang membahas soal kekinian” joko berkata dengan manggut-manggut.

“kalau ini saya tidak terlalu setuju” timpal Mas Pe’i

kenapa?” Joko mengejar

Baca Juga :  Buku Gerakan Islam Berkemajuan Karya Haedar Nashir Siap Diluncurkan di Tanwir Muhammadiyah 2024

“karena ini masuk ranah ahlak” jawab Mas Pe’i “saya kadang heran kenapa orang-orang sepertinya harus diberi seperangkat hukum agama dulu untuk menjadi baik, bukannya setiap manusia diberi akal, hati nurani yang bisa menimbang bagaimana seharusnya dia berbuat. apalagi di ranah akhlak, akal dan nurani sudah sangat terang memberi panduan, tanpa harus tau dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah kan sebenarnya orang sudah tau merendahkan orang lain itu tidak baik, mencuri itu tidak baik dan sebagainya, apalagi kalau orang tersebut katanya ustadz, kyai, gus harusnya dia lebih tau. iya toh?”

“memang begitu, tapi bukankah dengan adanya fikih itu jadi lebih jelas dan orang lebih tau bagaimana harus bertindak?” ujar joko.

“Fikih memang diperlukan pada ranah tertentu sangat dibutuhkan tapi di ranah tertentu juga norma-norma sosial sudah mencukupi, pada prinsipnya ajaran agama adalah pengamalan bukankah Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW sudah sangat mencukupi sebagai panduan untuk menjadi pribadi yang baik?”

Baca Juga :  Tiga Tradisi Literasi Muhammadiyah: Membaca, Menulis, dan Mendokumentasikan

“betul juga sih, berarti nggak perlu nih dibuat fikih bercanda? padahal saya sudah siap mau bikin kitabnya loh. hahahaha” kata joko dengan bercanda

“hahahaha ya monggo kalau kamu mau buat nanti saya yang nulis kata sambutan di kitabmu wis siapa tau saya bisa terkenal” seloroh Mas Pe’i dan mereka berdua tertawa.

“oh iya ada satu lagi nih, jangan sampai ketidak sukaan kita perbuatan seseorang membuat kita bertindak berlebihan yang akhirnya membuat kita sama buruknya dengan orang tersebut, bener nggak bro?” ujar Mas Pe’i

“Yoooo’i coy” jawab joko dan mereka pun melanjutkan moci dan ngobrol.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *